Powered By Blogger

Senin, 10 Oktober 2011

Sumbawa Besar. Bala Kuning Sumbawa Hari Jum’at 19 Agustus 1977 sekitar pukul 13.00 WITA merupakan saat kelabu bagi warga yang tinggal di Ai Ketapang Desa Lunyuk Besar, Kabupaten Sumbawa.
Seusai umat muslim mendirikan sholat Jum’at, tiba-tiba dikagetkan dengan kejadian gempa bumi yang sangat dasyat.
Pusat gempa yang terjadi di bulan puasa itu, berada di Samudera  Indonesia sebelah Barat Daya Pulau Sumba (NTT).

Menurut perhitungan  Pusat Meteorologi dan Geofisika, pusat gempa atau episenter berada di laut pada posisi 118.6* BT – 11,8* LS pada kedalaman sekitar 33 kilometer. Kekuatan gempa diperkirakan  mencapai  8 Skala Reichter  (SR).
Satu jam sebelumnya, sempat terjadi gempa pendahuluan yang kekuatannya sekitar 6,2 SR.
Meski pusat gempa berada jauh dari daratan dan di bawah permukaan laut, namun bencana tak dapat dielakkan dengan terjadinya gelombang pasang atau tsunami yang melanda sebagian besar pantai selatan dari deretan Nusa Tenggara, meliputi pulau Bali, Lombok, Sumbawa dan Sumba.
Kerusakan akibat gempa tidak begitu parah, melainkan hanya terjadi keretakan pada dinding-dinding bangunan.  Kecuali bangunan yang tinggi seperti menara yang pada umumnya mengalami kerusakan cukup parah disebabkan oleh getaran horisontal dengan durasi cukup panjang.
Akibat kejadian tersebut, sedikitnya 198 orang tewas atau hilang dan lebih dari 1.000 orang menderita.
Sementara kerugian material diperkirakan mencapai Rp. 230 juta  lebih yang sebagian besar disebabkan oleh gelombang pasang  ( tsunami ) yang terjadi beberapa saat setelah gempa.
Tsunami menghantam daerah-daerah pantai yang berbentuk landai, teluk atau muara sungai, dimana tempat-tempat seperti itu pada umumnya merupakan daerah pemukiman masyarakat.
Gelombang terbesar dikhabarkan terjadi di pantai Ai Ketapang  Kecamatan Lunyuk Kabupaten Sumbawa dengan ketinggian sekitar 8 meter.
Sebagian besar penduduk setempat tidak mengetahui akan datangnya bahaya tsunami setelah terjadinya gempa dan bahkan tercengang menyaksikan surutnya air laut secara mendadak tidak seperti  biasanya.
Penduduk di beberapa tempat telah mendengar bunyi ledakan seperti bom beberapa saat setelah terjadinya getaran gempa dan sebelum datangnya gelombang pasang.
Menurut keterangan warga yang berdekatan dengan pusat gempa, bahwa bunyi tersebut terjadi berulang-ulang sampai 3 kali.
Air laut tiba-tiba menjadi keruh berwarna kehitam-hitaman dan berbau aneh amat menyengat .
Di beberapa tempat dilaporkan adanya kenaikan suhu air laut. Diperkirakan kondisi itu disebabkan oleh penyerapan panas dari pantai.
Beruntung, gempa yang terjadi pada 19 Agustus 1977 itu  di saat air laut sedang surut ( low tide) sehingga tinggi gelombang relatif rendah.
Pusat gempa di sebelah selatan Kepulauan Sunda Kecil merupakan daerah pertemuan antara 2 lempeng kulit bumi, yakni lempengan Indo Australia di sebelah Selatan dan Lempengan Asia di sebelah Utara.
Lempengan Indo Australia yang bergerak ke arah Utara menghimpit ke bagian bawah Lempengan Asia dengan membuat sudut kemiringan yang tajam.
Di daerah  pertemuan antara kedua lempengan itu terdapat daerah subduction yang diwujudlan dengan adanya parit Laut Jawa (Java Trench ) yang sejajar dengan busur kepulauan Sunda Kecil dengan kedalaman maksimum sekitar 6.000 meter.
Di sebelah  utara dari parit laut itu terdapat cekungan Lombok dengan kedalaman 4.000 meter.
Di daerah ini banyak terdapat sumber gempa bumi dangkal yang merupakan pelepasan energi yang terkumpul sebagai akibat dari gaya-gaya tegangan yang berekrja secara terus menerus.
Karena kemiringan bidang lempengan ke arah Uitara, maka sumber-sumber gempa bumi semakin dalam ke arah tersebut .







Dari hasil survey lokasi Tim Kordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana Alam (TKP2BA) saat itu, diperoleh informasi  sbb :
- Benoa ( Bali ), tinggi gelombang sekitar 2,5 meter dari permukaan laut. Gelombang datang sebanyak 3 kali.
- Labuhan Aji  (Lombok Timur ),  masyarakat setempat mendengar  suara ledakan sebanyak 3 kali secara berturut-turut dengan selang waktu sekitar 1 menit. Tinggi gelombang sekitar 4 meter.  Air laut berwarna hitam masuk ke daratan sekitar 150 meter.
- Pantai Awan (Lombok Tengah ), terdengar ledakan 3 kali berturut- turut .  Tinggi gelombang sekitar 4 meter.
- Kuta (Lombok Tengah ), ledakan sebanyak 3 kali.  Air laut surut  sejauh 300 meter dari bibir pantai  kemudian datang gelombang pasang yang mencapai darat sekitar 200 meter.
- Ampenan (Lombok Barat ), hanya dirasakan geteran gempa bumi, namun tidak disertai tsunami atau gelombnag pasang.
-  Ai Ketapang Lunyuk (Sumbawa ), getaran kuat selama 5 menit, ledakan sebanyak 3 kali, air surut sejauh 400 meter, kemudian disusul dengan datangnya gelombang pasang masuk ke darat sejauh 500 meter. Tinggi gelombang diperkirakan 5 – 8 meter.
-  Larantuka ( Sumba Barat),  tidak terdengar suara ledakan, terjadi getaran selama beberapa menit kemudian disusul air surut dan gelombang laut dengan ketinggian sekitar 5 meter.

Mortir Ditemukan Nelayan



Sumbawa Besar, Bala Kuning
Sebuah bom jenis mortir ditemukan oleh nelayan di pesisir Pantai Labuhan Badas, Kamis (6/10/2011) sekitar pukul 14.00 wita.
Di bagian mesiu bom tersebut tertulis kode 8-7 4R, diperkirakan seberat 3 kg dengan panjang sekitar 30 cm.
Kasubden 2 Den A Brimob Polda NTB, AKP Lamiren yang ditemui di TKP, Jumat (7/10) menyatakan, pihaknya akan melakukan identifikasi untuk mengetahui aktif atau tidaknya bom tersebut.

“Namun jika dilihat dari kondisinya diduga bom ini masih aktif karena pemicu ledakan tempat mesiu belum hancur dan masih utuh,” jelas Lamiren.
Menurutnya, bom jenis mortir ini diperkirakan bekas peninggalan Perang Dunia ke-II, mengingat pada jaman kolonial Belanda selalu membombardir fasilitas perhubungan seperti pelabuhan atau dermaga pelayaran dan bandar udara.
Diduga bom itu tidak meledak lantaran tidak mendapat benturan dan jatuh di air rawa – rawa atau lumpur.
“Bom ini memiliki hulu ledak tinggi atau high eksplosif dengan daya ledak sekitar radius 100 meter,” terangnya.
Di tempat yang sama, perwira piket Kompi Senapan B Sumbawa, Sertu Sabri mengungkapkan, awalnya mortir tersebut ditemukan oleh seorang nelayan setempat, Zainuddin di pesisir pantai dekat dermaga kayu wilayah Labuhan Badas pada kamis (6/10).
“Bom itu sempat dibawa pulang oleh Zainuddin dengan niat untuk dikoleksi karena bentuknya menarik. Namun salah seorang temannya memberitahu bahwa benda itu adalah bom yang masih aktif dan bisa meledak sehingga dikembalikan lagi ke tempat semula,” paparnya.
Keesokan harinya, lanjutnya,  Zainuddin melaporkan kepada pihaknya tentang temuan bom tersebut. Oleh pihak Kompi Senapan B disarankan untuk melaporkan ke Pos Polisi terdekat sembari diberitahu bahwa pihak brimob selaku tufoksi masalah bahan peledak.
Mortir berbahaya tersebut akhirnya dievakuasi oleh tim jihandak brimob dengan cara membungkusnya dengan Bom Blangket semacam selimut. Selanjutnya diamankan di Markas Kompi Brimob untuk dilakukan identifikasi tentang aktif atau tidaknya.