Dari Bumigora Untuk Bangsa, Menuju Tambang Berkarakter Lokal Berdaya Internasional
Hampir sebagian besar wilayah Nusa Tenggara Barat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bumigora memiliki potensi pertambangan yang memiliki ‘daya’ pensejahteraan luar biasa jika dikelola secara arif dan profesional.
Dalam sebuah manuskrip atau dokumen negara rezim Orde Lama disebutkan, presiden Soekarno pernah mewanti-wanti ketertarikan pemodal asing untuk berinvestasi di Indonesia, termasuk investasi pertambangan.
Soal industri pertambangan mineral, Soekarno kemudian mengorientasikan politik ekonominya pada jargon Berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Ungkapan itu memberikan isyarat bahwa industri pertambangan mineral pada masa itu diarahkan pengelolaannya pada sumber daya lokal, termasuk sumber daya modal dan sumber daya manusia (SDM).
Menurut informasi sejak rezim Soekarno, Papua Barat dan wilayah Nusa Tenggara atau daerah NTB telah diketahui memiliki potensi deposit mineral yang dapat memberikan kontribusi besar bagi negara ini. Namun Soekarno tidak ingin industri pertambangan dikelola oleh investor asing, dengan alasan tidak ingin bergantung pada kepentingan asing.
Ia lebih memilih industri pertambangan dikelola oleh bangsa sendiri, dimana sampai negara sanggup memodali dirinya dan ada SDM putra bangsa ini yang telah mumpuni untuk mengelola industri tambang, barulah potensi-potensi pertambangan yang tersebar di seluruh Nusantara akan dikelola secara arif dan bijaksana berazaskan kesejahteraan dan keadilan sosial.
Kontrak Karya generasi keempat yang menetapkan Batu Hijau Sumbawa Barat sebagai daerah Konsesi PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) pada rezim Soeharto, sedikit berbeda secara orientasi dengan pemahaman Soekarno. PTNNT sebagai perusahaan multinasional berkelas internasional yang berinvestasi di pertambangan mineral tembaga, perak dan emas ini kemudian disebut sebagai kontraktor untuk mengeskploitasi kekayaan tambang yang mana royaltinya terhitung sebagai devisa negara. Terdapat perspektif paradoks secara praktis dan yuridis, dimana hasil produksi tambang ini, dari hulu hingga hilir masih dikelola oleh asing. Tentunya hal itu berbeda dengan keinginan Soekarno.
Sejak tahun 2000 berproduksi, PTNNT memasarkan konsentratnya ke berbagai negara, dimana hal itu tak ada sangkut pautnya dengan keterlibatan Pemerintah, khususnya daerah penghasil, yakni Propinsi NTB dan kabupaten Sumbawa Barat khususnya.
Sebagai bagian yang diatur dalam Kontrak Karya, program Community Development (Comdev) dan beberapa program PTNNT lainnya dalam mengembangkan dan memacu kesejahteraan masyarakat lokal serta memicu pembangunan di NTB, dirasakan belum komprehensif bagi masyarakat NTB secara luas. Hanya daerah lingkar tambang saja yang kemudian diklaim sebagai wilayah sasaran program-program tanggungjawab sosial dan tanggungjawab lingkungan oleh perusahaan yang berpusat di Denver Colorado Amerika ini. Kucuran dana hibah dan program Corporate Social Responsibility (CSR) dan berbagai bantuan lainnya sejauh ini hanya dirasakan secara ‘kesan’ oleh masyarakat dua daerah yakni Sumbawa Barat dan Sumbawa.
Bagaimana dengan kabupaten lainnya di NTB? Kucuran bantuan dan royalti PTNNT yang merupakan bagian dari Newmont Mining Corporation ini, mungkin hanya bisa dirasakan oleh dan melalui pemerintah Provinsi NTB.
Belum pernah ada masyarakat Dompu, Bima dan beberapa kabupaten lainnya di pulau Lombok yang mengaku PTNNT pernah dirasakan ‘kehadirannya’ di daerah mereka. Inilah mengapa kemudian muncul kesan, PTNNT hanya milik Sumbawa Barat, kabupaten Sumbawa dan Pemprov NTB saja, bukan masyarakat NTB secara umumnya.
Sedikit berbeda dengan PT Freeport di Timika Papua Barat, dimana pemekaran Propinsi Papua Barat disinyalir dilatarbelakangi oleh rasa ingin ‘menguasai’ PT Freeport Tembaga Pura oleh sebagian besar daerah atau kabupaten di wilayah pesisir barat pulau Papua agar daerah itu lebih maju.
Pembangunan daerah kaitannya dengan kehadiran perusahaan tambang dinilai sebagian kalangan ekonomi, akan berpengaruh besar pula pada paradigma ekonomi masyarakatnya secara konseptual. Secara praktis kenyataannya, dampak sosial ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya begitu pesat.
Lingkar Batu Hijau Sumbawa Barat yang dulunya adalah daerah terbelakang di kabupaten Sumbawa sebelum mekar menjadi kabupaten Sumbawa Barat, kini geliatnya telah mendunia oleh kehadiran perusahaan berkelas internasional seperti PTNNT.
Namun sayangnya, 10 tahun lebih operasi tambang berjalan, realita kesejahteraan di kawasan itu masih menjadi tanda tanya dan mengundang beragam persoalan lainnya. Dari angka kemiskinan hingga masalah tingginya angka pengangguran di Sumbawa Barat saat ini. Beberapa waktu lalu di tahun 2010 lingkar tambang diterpa mencuatnya kasus gizi buruk yang terjadi di kecamatan Jereweh, merebaknya DBD dan berbagai masalah kesehatan serta kesejahteraan lainnya.
Soal angka pengangguran, PTNNT sendiri pernah merilis bahwa tenaga kerja lokal yang diserap oleh perusahaan ini mencapai 60 persen masyarakat lokal. Artinya jika pekerja PTNNT mencapai 6000 orang lebih, 3500 orang berstatus warga NTB. Namun pada kenyataannya pengangguran masih saja menjadi persoalan utama meski lapangan pekerjaan selain industri pertambangan juga begitu luas di daerah lingkar tambang.
Persoalan lain yang masih mendera Sumbawa Barat sebagai daerah penghasil adalah sebagian besar infrastruktur di daerah ini masih belum memadai untuk sekelas kabupaten. Seperti ruas jalan negara yang ternyata belum memenuhi standar. Padahal akses jalan di wilayah Sumbawa Barat, khususnya yang menuju daerah operasi tambang termasuk jalur lalu lintas yang padat dilalui kendaraan, baik dalam daerah maupun dari luar daerah. Kaitannya dengan kehadiran PTNNT, masyarakat dan Pemda setempat berharap hal itu dapat diakomodir oleh PTNNT.
“Ruas jalan negara di wilayah Sumbawa Barat terbilang sangat sempit karena lebarnya kurang dari 7 meter, ini cukup mengkhawatirkan di tengah mobilisasi yang kian tinggi,” ungkap Tajuddin, sekretaris Dinas Perhubungan Informasi dan Komunikasi kabupaten Sumbawa Barat.
Terkait hal itu, kepala Bappeda Sumbawa Barat menyebutkan, pemerintah kabupaten Sumbawa Barat tahun lalu telah menganggarkan pelebaran jalan, meski sesungguhnya itu bukan tanggungjawab pemerintah daerah. Pemkab Sumbawa Barat mengaku mengalokasikan anggaran sekitar Rp 30 miliar yang diambil dari dana hibah PTNNT untuk pelebaran jalan tahap pertama.
Namun hal di atas sejauh ini belum menjawab persoalan pembangunan di Sumbawa Barat terlebih untuk NTB secara umum. Meski PTNNT setiap tahunnya menyetorkan royaltinya kepada negara, yang hingga memasuki tahun 2011 menurut rilis PTNNT telah lebih dari Rp 13 triliun. Namun secara langsung, maupun effect domain dari setoran royalti tersebut, masih belum begitu dirasakan oleh Pemda setempat maupun masyarakat.
Hal itu pula yang memacu spirit Pemkab Sumbawa Barat bersama legislatif memiliki motivasi tinggi dalam merebut 7 persen saham dari divestasi PTNNT bagi daerah penghasil, di luar divestasi saham 24 persen yang kini dikuasai oleh PT Multi Daerah Bersaing (PT MDB) sebagai perusahaan gabungan antara PT Multicapital--anak perusahaan Bakrie Group, dengan konsorsium tiga daerah (Pemprov NTB, Sumbawa Barat dan kabupaten Sumbawa) yang kemudian menjadi PT Daerah Maju Bersaing (PTDMB).
Belakangan pendirian PT DMB pun digugat oleh legislatif dua daerah, yakni Sumbawa Barat dan DPRD Sumbawa, karena dianggap ilegal. Selain itu skema pembagian saham 40-40-20 dalam PT DMB dianggap tidak menguntungkan salah satu daerah khususnya daerah penghasil.
Saham 7 persen ini oleh Pemkab dan masyarakat Sumbawa Barat dianggap akan mampu mendongkrak percepatan pembangunan dan pengembangan kesejahteraan di daerah ini. Karenanya mereka berusaha keras dan menanamkan stigma saham itu mutlak milik Sumbawa Barat.
“Saham 7 persen itu hak masyarakat Sumbawa Barat. Saham itu bisa dikatakan ’mahkota’ kita sebagai daerah penghasil,” ujar DR KH Zulkifli Muhadli, bupati Sumbawa Barat.
Banyak lagi tuntutan Pemkab Sumbawa Barat terkait operasi pertambangan PTNNT yang selama sepuluh tahun lebih ini terkesan belum mengakomodir sebagian besar keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal.
Menjelang Eksplorasi Blok Elang Dodo
PTNNT terus dituntut mengerti keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal. Termasuk kaitannya dengan rencana eksplorasi di kawasan Elang Dodo kabupaten Sumbawa. PTNNT berencana akan melanjutkan eksplorasi di kawasan konsesinya di kabupaten Sumbawa yang sempat terhenti pada tahun 2006 silam akibat persitiwa pembakaran kamp eksplorasi oleh masyarakat Ropang yang keinginannya menuntut dana Comdev Rp 10 miliar tidak terpenuhi.
Keinginan itu sebenarnya dilatarbelakangi kebutuhan masyarakat Ropang yang selama ini merasa belum ‘merdeka’ karena keterisoliran dan ketidakrataan pembangunan di NTB khususnya di kabupaten Sumbawa. Padahal secara infrastruktur transportasi, wilayah itu dilintasi oleh jalan propinsi, namun kondisinya sejak beberapa tahun lalu ruas badan jalan rusak parah.
Itulah kebutuhan masyarakat Ropang, namun kehadiran PTNNT seakan menjadi moment untuk menuntut pembangunan dan pengembangan masyarakat di wilayah itu.
Pelajaran yang dapat diambil adalah, kehadiran PTNNT di wilayah itu sejatinya terlebih dahulu memahami apa yang menjadi kebutuhan, kemudian mengerti apa yang menjadi keinginan masyarakat lokal. Tidak hanya terbatas pada masyarakat atau daerah lingkar tambang, namun juga NTB secara umum, agar tidak terkesan PTNNT hanya mengakomodir kepentingan masyarakat secara parsial.
Termasuk hal yang diperlu diperhatikan adalah keinginan masyarakat kabupaten Sumbawa secara luas terkait pembangunan fasilitas konsentrator dan pelabuhan di kawasan Elang Dodo jika nantinya PTNNT bereksploitasi.
“Newmont harus membangun fasilitasnya seperti di Batu Hijau jika akan bereksploitasi, karena kita sebagai daerah penghasil tentunya tidak ingin dirugikan. Kami tidak setuju jika hasil tambang kita akan diangkut melalui konveyor ke wilayah Sumbawa Barat,” tukas Syamsul Fikri, ketua Komisi I DPRD Sumbawa yang diamini anggota dewan lainnya saat pertemuan dengan manajemen PTNNT.
Kesatuan alur keinginan PTNNT dan kebutuhan masyarakat lokal menjelang eksplorasi kembalinya di blok Elang Dodo ditunjukkan pada Musakara Rea Adat Samawa 8 Januari 2011. Presiden Direktur PTNNT Martiono Hadianto.
“Kami akan melakukan sosialisasi secara intensif kepada pemangku kepentingan sebelum eksplorasi dilakukan,” ujar Martiono di hadapan sejumlah pemuka adat Tana Samawa.
Profesionalisme industri tambang berstandar internasional juga diemban PTNNT dengan melayarkan visinya pada empat pilar meliputi penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM), keselamatan dan kesehatan kerja, tanggungjawab lingkungan dan tanggungjawab sosial yang dicetuskan melalui program CSR.
Hal inilah yang sekiranya berorientasi pada karakter lokal yang diemban oleh PTNNT yang juga harus diterapkan oleh seluruh perusahaan tambang yang berinvestasi di NTB. Sehingga keinginan dan kebutuhan masyarakat khususnya daerah lingkar tambang akan jauh dari kemungkinan-kemungkinan terjadinya konflik seputar kehadiran operasi pertambangan seperti yang terjadi di Sumbawa Barat antara masyarakat bersama pemerintah kabupaten versus PTNNT, atau konflik yang terjadi di tahun 2006 di Dodo Rinti.
“Jika perusahaan lain hanya member porsi CSR bagi daerah lingkar tambang, maka PTNNT akan memberinya pada daerah di luar lingkar tambang pula,” janjinya Martiono Hadianto.
Pernyataan Presiden Direktur PTNNT tersebut oleh sebagian besar masyarakat diharapkan dapat terwujud ketika operasi Elang Dodo telah berjalan. Jadi tidak hanya kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat, namun propinsi NTB secara umum juga dapat merasakan hasil keberadaan PTNNT dengan segala program-programnya bagi pembangunan daerah ini. Karena selama ini kehadiran industri tambang di NTB dipersepsikan oleh masyarakat hanya sebagai penyumbang devisa bagi bangsa ini saja.
Masih ada masyarakat yang bertanya Newmont telah berbuat apa di Sumbawa dan NTB umumnya? Sehingga wajar jika di sebagian wilayah di NTB seperti di Ropang tahun 2006 dan di Bima di awal tahun ini, kehadiran perusahaan tambang mendapat resistensi yang tak main-main dari masyarakat.
Ketidakpahaman perusahaan atau industri pertambangan terhadap kenginan dan kebutuhan, atau dikatakan sebagai bagian dari karakter lokal, dapat pula memicu maraknya pertambangan tanpa ijin (PETI) yang lebih akrab dikenal dengan Illegal Mining. Bukit Labaong di kabupaten Sumbawa dan Bukit Fakirum di Sumbawa Barat yang diserbu penambang tradisional merupakan representasi dari ambisi serta keinginan masyarakat dan motivasi untuk bisa sejahtera dari hasil tambang.
Artinya, tidak hanya peran pemerintah saja yang harus diintensifkan untuk mencegah illegal mining melalui pengantisipasian dan pemberdayaan, namun juga peran dari dunia industri pertambangan atau perusahaan tambang untuk memperhatikan hal itu.(**)
Nur Kholis
Pemimpin Redaksi Harian Umum Pilar NTB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar